Hukuman mati oleh gajah adalah suatu metode eksekusi yang selama
ribuan tahun telah dilaksanakan di Asia Selatan dan Tenggara, khususnya
di India. Gajah Asia, digunakan untuk meremukkan, menghancurkan, atau
menyiksa tawanan di depan umum. Gajah-gajah tersebut telah dilatih
sehingga mampu untuk langsung membunuh atau terlebih dulu menyiksa
korbannya pelan-pelan.
Metode ini pada zaman dahulu sering membuat ngeri orang-orang Eropa
yang datang ke Asia. Banyak jurnal dan catatan yang dibuat oleh orang
Eropa mengenai metode ini. Ketika bangsa Eropa menjajah bangsa-bangsa
Asia, cara ini mulai dilarang.
Di Eropa sendiri, bangsa Romawi dan Carthage pernah menggunakan cara ini untuk menghukum para prajurit yang memberontak.
1. Asia Barat
Pada abad pertengahan, eksekusi oleh gajah dilakukan di beberapa
wilayah di barat, termasuk Kekaisaran Bizantium (Romawi timur), Sassanid
(Persia), dan Seljuk (Turki).
Seorang Kaisar Sassanid bernama Khosrau II, yang memiliki 3.000 istri
dan 12.000 budak wanita, suatu hari menginginkan Hadiqah (putri dari
Na’aman) untuk dijadikan istri. Namun Na’man (yang beragama Kristen) tak
mau putrinya memasuki agama Zoroaster. Karena penolakan ini, Na’man pun
dihukum dengan cara diinjak oleh gajah sampai mati.
Rabbi Petachiah, seorang pengelana dari Ratisbon, melaporkan eksekusi
oleh gajah dilakukan di Mesopotamia utara yang saat itu dikuasai oleh
Seljuk. Di sana, ketika Sultan sudah menyatakan hukuman mati untuk
seseorang, maka ada orang-orang yang akan berkata pada gajah, “orang ini
bersalah.”
Gajah itu lalu akan mengambil sang korban dengan mulutnya, melemparkannya tinggi-tinggi dan membunuhnya.
2. Sri Lanka
Pelaut Inggris bernama Robert Knox pada tahun 1681 pernah ditawan di
Sri Lanka. Di sana dia menyaksikan eksekusi dengan memakai gajah. Knox
mengatakan bahwa gajahnya memakai suatu besi dengan tiga ujung tajam di
gadingnya. Gajah itu lalu menusuk korbannya dengan besi itu dan
mengacak-acak organ tubuh sang korban.
Diplomat Inggris Sir Henry Charles pernah berkunjung ke Sri Lanka dan
menceritakan hukuman mati oleh gajah atas perintah raja Sri Vikrama
Rajasinha.
Beginilah kutipan ceritanya:
“Sang pemimpin memberi perintah pada gajah, ‘bunuh orang itu!’ Sang
gajah lalu mengangkat belalainya dan menginjak-injak tanah. Sang
pemimpin lalu berkata, ‘Selesaikan sekarang,’ dan sang gajah meletakkan
satu kaki di atas kepala korbannya sementara satu kaki lainnya di atas
perut korbannya, dan dengan sekuat tenaga gajah itu menghancurkan tubuh
orang malang itu ”
3. India
Di India, selama berabad-abad gajah telah digunakan untuk menghukum
pelaku kriminal. Manu Smriti atau Hukum Manu, yang ditulis pada 200 M,
menyatakan bahwa jika ada pencurian, maka pencuri tersebut harus dihukum
dengan menggunakan gajah.
Pada tahun 1305, Sultan Delhi memerintahkan eksekusi pada para
tawanan Mongol, sang Sultan menyuruh supaya mereka diinjak oleh gajah di
depan umum.
Penggunaan gajah sebagai alat eksekusi berlanjut sampai abad ke-19.
Dalam sebuah ekspedisi di India pada 1868, Louis Rousselet menggambarkan
eksekusi seorang pelaku kriminal oleh gajah.
Dia menceritakan bahwa sang terhukum harus meletakkan kepalanya di
sebuah tumpukan balok, lalu sang gajah akan meremukkan kepala korban
dengan kakinya.
4. Asia Tenggara
Pada zaman dahulu, Gajah digunakan sebagai alat hukuman mati di
Burma, juga di kerajaan Champa. Sedangkan di kerajaan Siam, gajah-gajah
dilatih untuk melempar korban ke udara sebelum menginjak mereka sampai
mati.
John Crawfurd menyaksikan eksekusi oleh gajah di Kerajaan Cochinchina
(Vietnam selatan) ketika dia menjadi duta Inggris pada tahun 1821.
Crawfurd menceritakan bahwa pelaku kriminal diikat di kayu, lalu seekor
gajah berlari ke arahnya dan menginjak-injaknya sampai mati.
5. Kekaisaran Barat
Romawi, Carthage, dan Yunani Makedonia adakalanya menggunakan gajah
untuk eksekusi. Pemberontak, tawanan perang, dan penjahat perang banyak
yang mati di bawah kaki hewan besar ini.
Perdikkas, seorang pemimpin Makedonia, pernah menghukum 300 orang
pemberontak dengan cara melemparkan mereka pada gajah-gajah, yang
langsung saja menginjak-injak tubuh mereka sampai hancur.
Penulis Romawi Valerius Maximus mencatat bagaimana Jenderal Lucius
Aemilius Paulus Macedonicus melemparkan orang-orang untuk dinjak-injak
oleh gajah jika ada yang melanggar disiplin atau melakukan
pemberontakan.